Baca part pertama Ketemu Bule di Gunung
Keesokan harinya setelah puas beristirahat walau tak
senyenyak dan senyaman ketika dipelukan dia, kami mengurusi urusan
masing-masing. Ada yang berjalan-jalan mengelilingi basecamp kledung sembari
menikmati ciptaan tuhan yang sangat indah, ada pula yang menunaikan hajatnya ke
kamar mandi, dan seperti biasa ada yang diam saja menunggu teman-temannya
rampung melakukan aktivitas.
Dia menunggu dibalik dekapan hangat masa lalu yang sangat
indah dan sukar dilupakan, namun semua itu harus sirna ketika kami sampai dan
terbangun. Pada awalnya kami berencana untuk mendaki bersama dan pendakian kami
mulai pukul 08.00 WIB. Waktu Indonesia Berubah kembali terjadi, pada akhirnya
kami hanya berangkat bersama rombongan kami. Saya, erin, dian, bu guru, rico
dan bayu. Sementara hara dan temannya, berangkat terlebih dahulu karena ada
suatu hal yang dikejar.
Kami yang sebetulnya malas sekali untuk beranjak dari tempat
yang sudah membuat kami nyaman dan beristirahat dengan cukup, membuat target
pendakian kami sedikit molor. Setelah bergelut dengan rasa nyaman dan
kenikmatan, kami bergegas mengatur ulang tas carrier dengan barang bawaan
kelompok kami.
Pada saat ini orang yang merasa menjadi korban dan
terintimidasi adalah saya dan rico. Bagaimana tidak? tas ransel kami berdualah yang
paling berat diantara tas-tas lainnya di rombongan kami. Tas saya berisi air
mineral berjumlah 9 botol dan pakaian pribadi, tas rico berisi tenda, peralatan
kelompok. Sementara logistik tersebar luas dan kurang merata pada keempat orang
teman saya itu.
Seberes packing, dan mengurus simaksi. Kami bergegas
menyiapkan diri untuk melakukan pendakian dengan jalur yang tidak kami ketahui
sebelumnya, medan yang terbilang cukup baru, serta perasaan yang campur aduk
ketika melihat pendaki cantik entah dari mana asalnya.
“mung iso nyawang ra
iso nyanding kawan”
Keuntungan hidup dimasa sekarang adalah kita bisa dengan
mudah mengambil gambar dan membagikannya kepada teman agar ikut serta merasakan
kebahagiaan yang kami rasakan, meskipun terkadang ada beberapa teman yang
dengan sengaja memamerkan perjalanannya kepada teman lainnya dengan berbagai
macam tujuan.
Mungkin, bertujuan untuk memotivasi teman lainnya agar bisa
merasakan hal yang sama dengan dia, membuat iri karena keindahan pemandangan
yang disuguhkan oleh tuhan ( acapkali mbak-mbak strong tak luput dari
pemandangan indah itu), atau yang paling sering dijumpai adalah untuk riya
alias pamer alat-alat gunung yang memiliki kualitas nomer satu.
Namanya juga mendaki dengan para perempuan hebat yang
narsisnya gak ketulungan, sebelum berdoa dan berangkat mendaki masih sempatnya
mereka melihat sebuah spot yang cocok
untuk dijadikan background foto, kalau tidak salah lukisan indah peta
pendakian. Seberesnya mereka berfoto ria dengan berbagai macam pose, dari yang
normal sampai abnormal.
Kami melakukan kebiasaan rutin yang lazim ditemui, berdoa
dan sedikit briefing. Hal yang kami diskusikan adalah kami mau menggunakan jasa
ojek atau berjalan kaki saja. Waktu bisa lebih efisien tapi kantong terkuras
atau kantong aman tapi waktu dan tenaga yang terkuras. Tanpa kami sadari ada
hal lain yang lupa dipertimbangkan, keselamatan dan sensasi.
Karena kami melihat para ojek gunung ini mengendarai motor
dengan gagah berani layaknya panglima perang yang siap kapan saja menyerahkan
nyawanya. Pada akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki saja, maklum lah
kantong anak smk masih tipis dan memprihatinkan. Disepanjang perjalanan saya
hanya bisa terdiam menahan beban yang kian lama kian terasa menyedihkan sama
seperti melihat ia jalan bersama pacar barunya yang gak lebih baik dari saya.
Coba bayangkan bagaimana rasanya memikul ransel dengan beban
yang lumayan banyak ditengah mentari yang dengan gagahnya menyinari bumi.
Bayangin aja kawan, gak usah diikutin, kamu gak akan kuat biar dilan saja.
Meskipun beban sesungguhnya adalah ketika kita kian bertambah usia namun belum
bisa memberi apapun untuk orang tua dan keluarga atau hanya menjadi beban
keluarga.
Perjalanan dari basecamp menuju pos-pos yang ada di
pendakian gunung Sindoro via Kledung ini kami tempuh degan berjalan kaki.
Lelah, kesal, iseng, dan menyedihkan. Kurang lebih itulah gambaran umum
perjalanan kami waktu itu, setelah melewati pintu gerbang kemenangan yang ada
di jalur pendakian ini. Kami istirahat melipir dari jalur pendakian, mencari
tempat nyaman untuk genduh rasa, berharap rasa lelah ini segera pergi.
Meskipun sebelumnya, kami sudah sering break karena teriknya
matahari. Melipirnya kami in bukan tanpa alasan, karena saya dan beberapa teman
lain di kelompok masih merasakan kantuk dan sedikit rawan jikalau dipaksakan.
Makanya kami memutuskan untuk tidur sejenak, dengan sandaran ransel yang setia
serta sayupan angin di tengah hutan.
Tak terasa satu jam berlalu, kami pun bergegas melanjutkan
perjalanan. Ketika kami berjalan, rasanya sedikit menyesal, karena tak lama
dari tempat kami tidur, sampailah kami di pertengah pos 1 dan 2 tempat
pemberhentian terakhir dari ojek gunung sindoro. Di tempat ini kami
beristirahat lagi, sesuatu hal yang langka bisa menjumpai pedagang siomay/cimo/bakso [ lupa 🙂 ] di gunung, hal yang baru bagi saya.
Alhamdulillah, ada malaikat yang mendengar isi hati saya
yang ingin mencicipi makanan itu diatas gunung dibeli langsung di tempat ini.
Bu guru dan Dian membelikan kami makanan enak itu, lumayan bisa sedikit
mengirit logistik yang kami bawa, biar bisa puas makan nanti ketika berada di
tempat camp. Seberes kami menikmati jajanan sekolah di gunung itu, beberapa
kali kami melihat para pendaki yang belari atau trail running.
Hal ini membuat semangat saya kian menggebu, sedikit agak
sombong mungkin. Ketika saya mendaki gunung slamet yang sudah beberapa kali,
jarang sekali saya temui pendaki seperti ini. Sindoro tempat pertama saya
melihat pendaki trail running.
“ Mungkin benar jalurnya tidak se sulit di gunung slamet ”
Seketika hati kecil saya berkata seperti itu dan seolah
memberi semangat lebih agar segera bisa mencapai ke puncak gunung sindoro.
Perjalananpun kami lanjutkan, kami berjalan dengan santai dan menikmati
pemandangan alam yang disuguhkan. Terkadang kami bertegur sapa dan saling ejek
kepada pendaki kelompok lain.
Namun hal yang tidak diduga terjadi, ketika jalur sudah
mulai menanjak dan semua itu jauh diluar ekspektasi saya yang mengkomparasikan
dengan jalur di gunung slamet yang menanjak tapi sopan. Jalur pendakian gunung
sindoro ini bisa dikatan kurang sopan. Bagaimana tidak, tanjakan terjal khas
bebatuan, yang memaksa lutut kami bertemu dengan dada tubuh yang rapuh ini.
Tenaga terkuras dengan cepat, keringat bercucuran bak banjir
bandang ditambah lagi melihat dia nayaman dipelukan orang lain yang membuat
hati ini semakin terisis mengenangnya. Kami berjalan semampu kami, sesantai
mungkin hingga tak sadar bahwasanya mentari mulai pamit dari pandangan kami
yang menghasilkan bias cahaya indah. Bernama Senja. Sejanak kami terpaku
memandangi keindahan alam itu.
Tersadar, sudah terlalu lama kami berdiam diri hingga lupa
bahwasanya perjuangan belumlah usai. Singkatnya kami melanjutkan perjalanan dan
memutuskan untuk camping di pos 3 gunung sindoro. Rutinitas yang dilakukan
ketika sampai tempat camp, ialah memasak, rebahan, slonjoran atau bercengkrama
dengan pendaki lainnya sembari menyusun rencana summit attack.
Malam mulai pekat, raga sudah lelah tak mampu lagi untuk
terjaga, akhirnya kami semua tertidur dengan lelapnya. Kami memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan pukul 3 dini hari. Kerap kali saya terbangun dari tidur
dikarenakan beberapa pendaki yang melintas, memang agak sensitif. Padahal
pendaki itu tidak melakukan hal yang mengganggu ketenangan malam itu.
Sudah menjadi kebiaasaan bagi kami untuk ngaret dalam dari
target yang sudah ditentukan, pada akhirnya kami melanjutkan perjalanan pukul 5
pagi. Dengan segenap tenaga yang sudah terkumpul, kami bergegas untuk melihat
keindahan alam indonesia dari ketinggian 3153 mdpl. Perjalanan ditemani rasa
dingin yang menusuk, serta cahaya yang mulai menghiasi dari kejauhan.
Tatkala mentari mulai nampak, kami menghemat cahaya dari
headlamp yang kami bawa dan bergegas mencari tempat terbaik untuk menikmati sunrise. Cara kami menikmati momen
ini-pun beragam, ada yang mengabadikannya melalui foto, puisi, dan kenangan. Karena
suatu kejadian dalam hidup kita mampu memberikan ide unik yang sayang jika tak
direalisasikan.
Ketika hawa dingin masih menemani perjalanan kami, perut
saya mulai susah untuk dikondisikan. Beberapa kali saya beristirahat hanya
untuk berdiskusi dengan perut agar lebih mudah untuk diajak kerjasama sembari
mengistirahatkan bahu yang sedari berangkat memikul beban ransel yang lumayan. Hingga
disuatu titik di gunung sindoro, saya hampir menyerah dan menyuruh teman-teman
untuk melanjutkan perjalanan dan saya menunggu di titik nyman itu.
Akan tetapi, teman-teman yang lain tak sependapat dengan saya
dan setia menemani saya di titik itu. Hingga pada akhirnya bayu merasa bosan
menunggu, ia menawarkan untuk bergantian memikul beban ransel yang berisikan
kehidupan.
“ Nah ini yang saya tunggu, pada nggak peka emang kadang. Perut
sakit, pundak terbebani, serta hati yang lara. Lengkap sudah. “
Perlahan namun pasti, kami berjalan dan terus berjalan. Melewati
medan yang cukup terjal dengan berbagai tanjakan yang menipu. Tanjakan yang memotivasi
kami bahwa setelahnya adalah puncak, namun itu hanya tipuan yang menambah
sensasi pendakian. Kami berusaha menjemput kepastian puncak yang menunggu dari
pada mengalah kepada sesuatu hal yang menipu.
Dengan berbagai upaya yang kami kerahkan, pada akhirnya kami
sampai di puncak gunung sindoro dan menikmati keindahan ciptaan alam Indonesia
dari ketinggian 3153 mdpl. Ketika kami sedang beristirahat, saya sempat melihat
dua bule cantik dari kejauhan. Sesuatu hal yang baru bagi saya bisa bertemu Warga
Negara Asing di gunung sindoro ini.
Hari itu sungguh terik, bau belerang yang menyengat, serta
semangat hampir sirna. Namun, percayalah kawan dibalik sebuah kesusahan
terselip sebuah kebahagian, bukankah kebahagiaan jauh lebih nikmat jika
diperoleh dengan perjuangan ?
Kami berenam bahagia karena berhasil mencapai puncak dan
menikmati indahnya alam yang disuguhkan ditambah bonus memandangi bule cantik
meski tak bercakap. Setelah kami puas mengambil gambar dan mengobrol tentang
perjuangan bisa sampai ke titik 3153mdpl ini, kami memutuskan untuk turun. Kawan
tahu apa yang terjadi ketika turun gunung tak sepelik ketika mendaki gunung.