
Jangan ngaku udah pernah ke Pontianak, kalau belum ke Tugu Kathulistiwa!
Belum ke Pontianak ‘katanya’ kalau belum berkunjung ke
Sungai Kapuas dan Tugu Kathulistiwa. Kedua tempat tersebut bisa dibilang sangat iconic di Pontianak.
Ada sebuah mitos yang beredar, jika pendatang membasuh
muka menggunakan air kapuas. Niscaya ia akan kembali lagi di kemudian harinya.
Rasanya tak perlu membasuh muka dengan air kapuas untuk
rindu dan kembali lagi ke Pontianak. Beberapa jam setelah menapakan kaki di
tanah Kathulistiwa, saya telah berhasil dibuat jatuh cinta bukan kepayang.
Pasalnya, suasana yang ditawarkan oleh masyarakat sangatlah hangat. Tak heran
hati ini ingin kembali bersua dengan kerabat yang ada disana.
Cukup bernostalgianya, sekarang mari bercerita tentang
sebuah perjalanan yang sulit dilupakan. Perjalanan menuju tugu Kathulistiwa.
Lokasi tugu Kathulistiwa berada di Jalan Kathulistiwa, Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Butuh sekitar
1-2 jam untuk mengunjunginya dari pusat kota.
Waktu tempuh yang dibutuhkan
tentunya tergantung dari padat tidaknya kondisi lalu lintas saat kita ingin
berkunjung.
Sejarah Tugu Kathulistiwa
Asal mula tugu kathulistiwa berdiri, dimulai dari sebuah
ekspedisi yang dilakukan oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda.
Ekspedisi ini dilakukan guna menemukan titik kathulistiwa atau equator di Kota
Pontianak. Tugu kathulistiwa yang sekarang kita tahu, sejatinya telah melewati beberapa
proses rekontruksi yang cukup panjang. Berikut Timelinenya:
- Tugu pertama dibangun
tahun 1928 berbentuk tonggak dengan anak panah. - Tahun 1930 disempurnakan,
berbentuk tonggak dengan lingkarang dan anak panah. - Tahun 1938 dibangun
kembali dengan penyempurnaan oleh opzicter / architech Silaban. Tugu
asli tersebut dapat dilihat pada bagian dalam. - Tahun tahun 1990, kembali
Tugu Khatulistiwa tersebut direnovasi dengan pembuatan kubah untuk
melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran lima kali
lebih besar dari tugu yang aslinya. Peresmiannya pada tanggal 21
September 1991.
![]() |
Source: Pinhome.id |
Kayu besi atau kayu belian dipilih menjadi
tonggak dari tugu ini, terdapat 4 buah tonggak yang diharapkan mampu untuk
menopang bangunan ini.
Keempat tonggak ini memiliki diameter 0,30 m dengan
ketinggian tonggak di bagian depan setinggi 3,05 meter dan tonggak belakang
beserta penunjuk arah setinggi 4,40.
Jika kita perhatikan lebih seksama lagi dalam miniatur bumi
dengan anak panah itu, terdapat dua buah simbol yang tersemat dengan baik.
Pertama
adalah tulisan “Evenaar” dan kedua “109o 20′ OlvGr”. Kedua simbol
ini ternyata memiliki sebuah makna yang wajib kita ketahui.
Simbol pertama itu menegaskan kata
“kathulistiwa” dalam bahasa belanda, sedangkan simbol kedua itu menegaskan
tentang “garis khatulistiwa di Kota Pontianak bertepatan dengan 109 derajat
bujur timur 20 menit 00 detik GMT (Greenwich Mean Time)”.
Sebuah Perjalanan
Berharga
Ketika keluarga mengetahui bahwasanya saya akan menuju kota
Kathulistiwa di Kalimantan Barat. Satu pesan yang selalu terpatri dengan
khidmat, “Jangan lupa buat mampir ke Tugu Kathulistiwa” begitulah kiranya inti
dari pesan yang cukup panjang kala itu.
Beberapa tempat dan keindahan atau yang
menarik bagi saya di kota Pontianak sudah saya sambangi. Sebut saja,Waterfront City, Berpuluh kedai kopi yang tersedia, serta kue bingke yang lembut.
Sebetulnya ada beberapa rencana yang
sempat tercipta namun enggan direalisasikan. Diburu waktu yang singkat, kami
harus mengambil sikap untuk sesegera mungkin mengunjungi Tugu Kathulistiwa
yang sangat iconic itu.
Belum ke pontianak ‘Katanya’ kala belum ke Tugu
Kathulistiwa, begitu ejekan pribumi kepada kaum pendatang.
Pada hari selasa yang bertepatan dengan tanggal 21 Desember
2021 kami berencana untuk mengunjungi tugu Kathulistiwa itu.
Saya dengan
sengaja tidak mendalami dengan pasti terkait dengan tugu Kathulistiwa ini,
karena saya beranggapan bahwasanya jika sudah dipesani untuk berkunjung,
berarti ada sesuatu hal yang “WOW” yang akan saya dapatkan.
Dengan harapan kejutan yang diberikan lebih tidak terduga
lagi, saya dan rombongan berjalanan dengan penuh santai.
Tapi.. yang namanya rencana hanyalah sebuah rencana.
Saking santainya kami ngaret dari waktu yang sudah
dijadwalkan, yaa sekitar 4 jam’an lah waktu terbuang karena dekapan nyaman
ruang tidur yang enggan melepas kami.
Perjalanan dimulai harusnya pada pukul 10.00
kami malah baru berangkat di waktu ba’da dzuhur sebelum ashar, itupun tipis
sekali.
Menurut kawan pribumi, perjalanan itu tidak memakan waktu
yang lama berkisar 1 jam. Begitulah “katanya”. Namanya juga “katanya”
kadangkala bisa berubah seketika, sama halnya dengan mendaki gunung.
Jika
ditanya terkait jarak pos selanjutnya butuh berapa lama lagi, seringkali apa
yang dikatakan meleset jauh. Jadii yak, mari kita nikmati perjalanan menuju
tempat bersejarah ini.
Perjalanan kami menuju tugu kathulistiwa ini ditemani sebuah
mobil yang berhasil mengantarkan kami kesana.

Sebuah mobil pabrikan Jepang yang
didesain khusus untuk keluarga. Kendaaran ini disediakan oleh seorang sahabat
bernama Bergass. Mungkin jika tidak ada dia dan kendaraannya kami tidak bisa
sampai di tugu Kathulistiwa.
Perjalanan kami layaknya sebuah keluarga yang sedang
bertamasya menuju villa yang telah dibooking sebelumnya. Sungguh menyenangkan.
Saya
yang berada di belakang kemudi, sementara yang punya mobil bertugas untuk
menunjukan jalan. Sedangkan teman-teman lainnya sibuk me-request lagu kesayangan masing-masing. Tak heran terkadang
perdebatan hangat tercipta.
Sekitar 1,5 jam kami melakukan perjalanan menggunakan
kendaraan roda 4, akhirnya kami sampai juga ke tempat bersejarah di Pontianak.
Pada
waktu itu, kami hanya dipungut biaya Rp 5.000/orang, dan biaya parkir di angka
yang sama seingat saya.
Pengalaman Seputar
Tugu Kathulistiwa

Ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan, rasanya cara
terbaik untuk menyikapinya adalah dengan menerima dan berusaha melihat dari
berbagai macam sudut pandang.
Barangkali ada keindahan lainnya yang ternyata
tidak bisa kita lihat dengan mata lapang dada. Seperti itulah yang saya ambil
ketika pertama kali menapakan kaki di tugu Kathulistiwa ini.
Pasalnya, harapan saya sudah sangat tinggi tentang tugu
kathulistiwa. Di dalam benak saya, tempat ini akan menghadirkan segudang
keindahan.
Misalnya seperti pemandangan yang sungguh menakjubkan. Akan tetapi,
ketika saya sampai. Harapan saya seolah dipatahkan begitu saja tanpa permisi. Sungguh
menyebalkan.
Perbincangan diantara kami yang berasal dari luar kota
Pontianak pun sepakat berpendapat “Ternya begini aja tugu Kathulistiwa yang
mashur itu?”.
Yasudahlah ya, mau gimana lagi. Sudah terlanjur disini,
setidaknya kami memiliki cerita tersendiri ketika pulang ke tempat asal
masing-masing nantinya.
Pada akhirnya, kami berkeliling mengitari tempat ini,
mencoba menemukan keindahan yang tak kami lihat atau bahasa gaul bak anak
jaksel adalah “hidden gem”.
Banyak ragam untuk kita mengumpulkan data-data yang
diperlukan. Misalnya, melalui metode observasi,
wawancara, dan test.
Mirip pelajaran di ruang kelas perkuliahan. Begitu pula
cara yang coba kami lakukan demi mengobati lara hati akan tamparan kenyataan
yang cukup pahit.
Untuk mengobati kekecewaan, kami berusaha mencari angle yang berbeda.
Kami mengamati sekeliling, menyelami segala titik buta tempat
ini, berbincang dengan pedagang ataupun pengunjung lainnya demi sebuah
informasi yang mungkin tak ternilai harganya.
Setelah sekian waktu, kami habiskan. Berhentilah kami pada
sebuah tempat yang menjual es campur. Ditempat itulah kami terdiam sesaat,
merenungi segala data yang kami punya, dan bertukar pandangan tentang tempat
ini.
Ketika itu sudah terjadi, seolah pintu maaf terbuka lebar bagi diri kami. Dan
kami sadari bahwasanya yang salah adalah mindset
dan cara pandang kami akan sesuatu hal.
Satu hal yang menarik bagi saya, di tempat ini ternyata
merupakan titik Kulminasi matahari. Peristiwa kulminasi merupakan kondisi ketika
sang surya berada tepat di garis kathulistiwa sehingga dampaknya kita seperti
tidak memiliki bayangan.
Peristiwa ini terjadi setahun dua kali, yakni diatanra
tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September. Namun waktu berkunjung kami yang
kurang tepat, karena kami berkunjung di bulan Desember.
Pelajaran yang saya
dapatkan
Seperti yang sudah saya singgung dalam sub-bab sebelumnya. Ketika
rencana ataupun harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan, cara terbaik untuk
menyikapinya adalah berdamai dan berusaha mengambil hikmahnya.
Terkadang apa yang diberikan oleh Tuhan adalah sesuatu hal
yang memang paling kita butuhkan, bukan apa yang paling kita inginkan.
Terkadang
pula, kita sebagai hamba Tuhan kurang bisa menerima kenikmatan yang sudah
diberikan secara percuma. Ingat PERCUMA atau GRATISS.
Disisi lain, peristiwa tersebut juga mengajarkan kepada kita
untuk bisa lebih peka lagi terhadap kondisi sekitar.
Boleh jadi apa yang kita
lihat bukanlah keadaan yang sesungguhnya terjadi, perlu keinginan yang kuat
untuk mengasah intuisi kita. Sehingga semasa kita hidup, kita memiliki
kebermanfaatan dan mendorong terciptanya kemaslahatan, bukan malah mendorong
kesengsaraan terjadi.


